Makanan dari tinja? Mendengarnya saja kita sontak tidak akan
percaya dan merasa jijik jikalau membayangkannya. Apalagi dari tinja manusia,
"euh.. jijik banget" itulah kata yang mungkin anda katakan.
Ngomongin soal tinja, saat ini di negara lain tinja telah
menjadi pencemaran yang sangat bermasalah bagi mereka. Kenapa di Indonesia
tidak? Mungkin di Indonesia pembuangan tinja masih terkendali karena
menggunakan Septic Tank. Nah kalau di negara lain, khususnya beberapa negara maju
pembuangan limbah ini yaitu melalui got- got yang ada di bawah tanah. Yang
kemudian dibuang ke lautan. Bisa dibayangkan kan? berapa banyak tinja manusia
yang terdapat dalam got tersebut dan dibuang langsung ke laut?
Untuk mengatasi masalah tersebut, salah satu ilmuan di
Jepang berhasil membuat jalan keluarnya, yaitu membuat olahan makanan tari
tinja tersebut.
Pada kenyataannya, ilmuwan asal Okayama Laboratory Mitsuyuki
Ikeda ini yakin bahwa banyak protein bagus di dalam kotoran manusia yang bisa
dimanfaatkan. Untuk itu, ia mencari cara untuk mengekstraknya, mencampurnya
dengan saus steak, dan berhasil membuat kotoran itu menjadi makanan. Sebagai
informasi, Tokyo saat ini kewalahan dengan lumpur selokan bawah tanah, dan
satu-satunya cara untuk mengatasinya selain dengan membuang ke laut adalah
dengan memakan kotoran-kotoran tersebut.
Berita Unik ini mungkin orang bertanya-tanya apa alasannya
melakukan hal itu. Tetapi ternyata, alasan utamanya adalah permintaan dari
pemerintah Tokyo sendiri.
Saat diteliti, Ikeda mendapati bahwa lumpur itu penuh dengan
protein karena banyaknya konten bakteria di sana. Setelah dikombinasikan dengan
peningkat reaksi dan menempatkannya di mesin ajaib yang disebut exploder,
akhirnya steak buatan berbahan baku kotoran manusia tersebut berhasil dibuat.
Lumpur kotoran itu mengandung 63 persen protein, 25 persen
karbohidrat, 3 persen vitamin yang larut dalam lemak, serta 9 persen mineral.
Adapun steak buatan yang dihasilkan pun warnanya juga merah, jadi konsumen
tidak akan mengetahui bahwa yang akan ia makan merupakan tinja olahan.
Menurut Ikeda dan rekan-rekannya, cara ini merupakan solusi
sempurna untuk mengurangi jumlah limbah dan emisi dari perut. Namun sayangnya,
masih ada kekurangan dari solusi yang ditawarkan Ikeda. Biaya untuk memproduksi
‘Daging’ buatan itu 10 sampai 20 kali lebih mahal dibandingkan dengan harga
daging sapi sungguhan.
“Dari uji pertama, orang-orang yang sudah mencobanya
menyebutkan, rasanya seperti daging sapi,” sebut Ikeda, seperti dikutip dari
Digital Trends, 20 Juni 2011.